Troso, MAMHTROSO.com – Jika tak ada aral melintang, rakyat Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif pada 9 April 2014 mendatang. Mereka yang memiliki hak pilih akan menentukan wakilnya di DPR, DPRD, dan DPD RI.
Dari data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih yang telah terdaftar untuk pemilu tahun 2014 mencapai 185 juta orang. 53 juta orang di antaranya masuk kategori pemilih muda berusia 17-29 tahun. Jumlah itu sudah termasuk 18,3 juta pemilih yang baru pertama kali mengikuti ajang pesta demokrasi 5 tahunan tersebut. Sebagai perbandingan, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu tahun 2009 ‘hanya’ sekira 171 juta orang, dengan jumlah pemilih berusia muda sekitar 42 juta orang. Pada pemilu 2004, jumlah DPT yang tercatat sekitar 153 juta orang.
Jika ditilik dari kuantitas, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu tahun ini memang mengalami lonjakan yang signifikan dari pemilu sebelumnya. Namun, kecendurungan penurunan partisipasi masyarakat di bilik suara sebenarnya kian mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen, tahun 2004 sebesar 84,07 persen, dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Jika melihat tren tersebut, bukan tidak mungkin angka golongan putih (golput) pada pemilu 9 April nanti akan melejit naik.
Penyebab menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu tentu bermacam-macam. Namun yang paling jelas adalah tidak adanya perubahan kesejahteraan masyarakat secara signifikan pasca pemilu. Masyarakat cenderung menganggap pemilu tidak lebih sebagai hajatan dari, oleh, dan untuk keuntungan partai politik saja. Padahal, sebagian besar masyarakat pemilih bukan anggota partai politik tersebut.
Faktor yang tidak kalah berpengaruh adalah kurangnya edukasi tentang arti penting pemilu kepada masyarakat, terutama bagi para pemilih pemula yang notabene belum memiliki pengalaman berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut.
Pemilih pemula dapat diartikan sebagai pemilih yang berusia 17 tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih pemula dalam setiap even pemilu kerap kali didominasi kalangan pelajar SMA dan mahasiswa dengan jumlah yang relatif besar. Itu mengapa mereka sering menjadi rebutan partai politik maupun para politisi untuk mendongkrak perolehan suara.
Meski mayoritas berasal dari golongan berpendidikan, para pemilih pemula cenderung memiliki jiwa muda yang labil dan keinginan untuk coba-coba. Sebagian besar dari mereka hanya melihat momentum pemilu sebagai ajang partisipasi dengan memberikan hak suara mereka kepada partai dan tokoh yang mereka gandrungi. Antusiasme mereka untuk datang ke tempat pemungutan suara tidak bisa langsung diterjemahkan bahwa kesadaran politik mereka sudah tinggi. Mereka cenderung memilih partai-partai besar dan mapan yang kerap pasang iklan di berbagai media.
Oleh karenanya, mereka tetap saja membutuhkan bimbingan terkait pendewasaan politik sehingga mampu berpartisipasi aktif dan dapat berkontribusi positif dalam upaya menjaga dan menyukseskan demokratisasi. Selain itu, mereka juga membutuhkan dorongan dari berbagai pihak untuk menggunakan hak suara secara cerdas. Ini penting sebab pemilih pemula nantinya akan menjadi pemilih permanen pada pemilu berikutnya.
“Sosialisasi penting dilakukan, terutama ke sekolah-sekolah tingkat SMA atau MA. Tujuannya agar para pemula lebih bersemangat dan paham tentang peran mereka dalam sistem demokrasi di Indonesia,” ujar Esti Asrofah kepada MAMHTROSO.com belum lama ini.
Siswi kelas XI IPA-1 di MA Matholi’ul Huda Troso itu mengungkapkan, para penyelenggara pemilu diharapkan terus menggalakkan sosialisasi hingga menjelang pelaksanaan pemilu. “Fokusnya dapat berupa pengarahan kepada pemilih pemula agar menggunakan hak pilihnya sebaik mungkin, tidak cuma asal coblos”.
Esti melanjutkan, peran pemilih pemula pada pemilu 9 April mendatang diperkirakan masih belum menggembirakan. Menurutnya, para pemuda cenderung apatis lantaran kurangnya sosialisasi yang dilakukan para pemegang kepentingan. Kalaupun ada, katanya, sosialisasi lebih banyak dipusatkan di sekolah-sekolah yang terletak di perkotaan. Padahal, sosialisasi semestinya dilakukan di sekolah-sekolah di lingkungan pedesaan yang notabene masih minim akses informasi. Selain itu, sosialisasi untuk para pemilih pemula yang tidak bersekolah dapat pula dilakukan di balai desa atau tempat umum lain.
Sementara itu, sikap pemilih yang cerdas menurut Nur Syahrul dapat menentukan nasib bangsa Indonesia, paling tidak untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. “Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pemilu menjadi peristiwa penting dan strategis sebagai kesempatan memilih calon anggota legislatif dan perwakilan daerah yang akan menjadi wakil rakyat. Satu menit menentukan nasib bangsa selama 5 tahun. Oleh karenanya, kita harus cerdas menjadi pemilih,” ungkapnya.
Memilih secara cerdas, ungkapnya, dapat dilakukan dengan mempelajari dulu partai apa dan siapa calon legislator yang bakal dipilihnya. Selain itu, mengetahui latar belakang dan rekam jejak caleg akan mempermudah menentukan pilihannya saat di bilik suara. Yang terakhir, kata dia, sebisa mungkin menghindari golput. “Jangan sampai golput lah. Memang golput itu bagian dari hak pemilih. Namun jika golput menjadi pilihan, itu sama artinya kita acuh tak acuh dan arogan terhadap bangsa kita sendiri,” ungkap alumnus MA MH Troso angkatan 2008 itu. (Agus Ahmad Fadloli)