Troso, MAMHTROSO.com – Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah Matholi’ul Huda Troso kembali laksanakan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih kemarin, Sabtu (23/02/2019). Seperti biasa upacara ini dilaksanakan di halaman madrasah dan diikuti oleh seluruh civitas akademika MTs – MA Matholi’ul Huda Troso yang berjumlah kurang lebih 1.200-an orang baik siswa maupun dewan guru.
Sebagai petugas upacara adalah dari perwakilan siswa Kelas XI MA Matholi’ul Huda Troso. Elva Elviana Novita Sari (XI MIA-1) sebagai pemimpin upacara dengan 3 pemimpin pasukan berturut-turut Soya Angga Arifin Nuha (XI MIA-2), Zaha Muhammad Al Haq (XI MIA-2), dan Hendri Hermawan (XI MIA-3). Pembawa Acara ditugaskan kepada Vina Ramandhani (XI MIA-1), dan Fatikha Amalia (XI MIA-3) dan Dimas Al Habib Efendi (XI IIS-3) sebagai Pembaca Pembukaan UUD 1945 dan doa. Sementara Ahmad Setiawan (XI IIS-1) sebagai ajudan pembina upacara.
Pasukan Pengibaran Bendera dengan 8 formasi dipimpin oleh Fikri Aida Fitriyah (XI MIA-3) sedangkan pengerek dan pembawa bendera adalah Linda Wahyu Laila Shofiana (XI MIA-3), Indah Wahyu Laili Shofiani (XI MIA-3), dan Ulufiatur Rahmanita (XI MIA-2). Sedangkan sebagai pasukan pengiring yaitu Muhammad Mughni Labib (XI MIA-1), Muhammad Syarif Hidayat (XI MIA-1), Gilang Agil Syafrizal (XI MIA-2), Wahyu Budi Santoso (XI MIA-3).
Mohammad Asad, S.Pd.I. salah satu guru pengampu mata pelajaran Bahasa Arab di MA Matholi’ul Huda Troso kali ini berkesempatan menjadi Pembina Upacara. Berbeda dengan pembina upacara sebelum-sebelumnya beliau memulai amanatnya dengan mengkondisikan siswa-siswi yang masih berbicara terlebih dahulu. Dengan gaya pidatonya yang menggebu-gebu beliau menyampaikan materi tentang menghormati ibu.
Menceritakan tentang seorang ustad/kyai yang memiliki ibu dengan kondisi yang kurang normal. Di tengah-tengah majlis taklimnya, ternyata sang ibu tiba-tiba mendatangi anaknya yang sedang memberikan pengajian dihadapan para santrinya hanya untuk mengingatkan bahwa ayam-ayamnya belum diberi makan. Dengan kepatuhannya sang anakpun kemudian menutup kitabnya dan segera melakukan apa yang diperintahkan oleh ibunya tersebut. Yaitu memberi makan ayam-ayamnya. Usai memberi makan ayam sang anak/ustad ini kemudian melanjutkan majlis taklim dengan para santrinya.
Dari cerita tersebut dapat diambil sebuah pelajaran yang sangat berharga. Apapun kondisi seorang ibu, dia tetaplah seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Sehingga untuk patuh dan hormat kepadanya adalah sebuah kewajiban.
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Kemudian ayahmu.”
(Syah)