Troso, MAMHTROSO.com – Menyandang predikat sebagai juara dunia woodball dua kali berturut-turut, tidak lantas membuat Ahris Sumariyanto puas dan besar kepala. Dirinya justru harus memutar otak untuk mempertahankan gelar bergengsi ini.
Namun, jalan terjal telah terbentang di hadapannya. Pasalnya, selama musim tahun ini, Ahris baru mengikuti satu pertandingan yang digelar di Malaysia, Februari lalu. “Saya dapat nomor 2 pada waktu itu,” jelasnya. Meski demikian, hasil tersebut tidak cukup membuat ia bernapas lega. Ahris harus rela kehilangan poin lantaran absen pada laga yang dihelat di Malaysia, Agustus lalu. “Terpaksa tidak ikut karena bertepatan dengan hari raya Idul Fitri,” kenangnya.
Partisipasi pada pertandingan level internasional yang minim, sempat membuat Ahris khawatir tidak dapat mengunci gelar juara ketiga kalinya. “Untuk tahun 2012 ini mungkin saja merosot. Tapi saya belum tahu pastinya,” tutur pria yang tengah menunggu hasil seleksi penerimaan perwira TNI AD ini. Untuk mengakalinya, lanjut Ahris, dirinya paling tidak harus mengikuti pertandingan-pertandingan sisa sebelum penutupan musim ini. “Dan tentunya harus menang,” tandasnya.
Tidak dapat dimungkiri, intensitas latihannya berkurang drastis semenjak dirinya diwisuda pada Maret lalu. “Jika dulu saya latihan bisa rutin di kampus, sekarang latihan saya tidak seperti dulu lagi,” ungkapnya. Ya. Untuk mengasah kemampuannya bermain tepak bola kayu ini secara profesional, dirinya hanya bisa memanfaatkan fasilitas lapangan woodball yang ada di kawasan pantai Bandengan, Jepara. “Yang paling dekat di Bandengan. Jadi kalau pengin latihan, ya bolak-balik Banyuputih-Bandengan,” jelas pria berkulit sawo matang ini.
Mengajar di madrasah, berhasrat tularkan ilmu
Kini, Ahris lebih banyak mengabdikan waktunya pada pendidikan. Dirinya bergabung dengan lembaga pendidikan MTs-MA Matholi’ul Huda Troso sejak bulan Juli lalu. Di madrasah tersebut, ia berhasrat untuk menularkan ilmunya kepada anak-anak didiknya.
Menurutnya, tak butuh keluar kocek yang besar untuk dapat bermain woodball. “Dari segi peralatan, sangatlah murah. Apalagi, kita tinggal di Jepara yang banyak usaha mebelnya. Jadi kita bisa membuat sendiri alatnya,” papar Ahris. Dari segi lapangan, lanjut Ahris, juga tidak mengalami masalah berarti. “Minimal ada lapangan berumput atau berpasir, dan kita punya salah satunya, yaitu rumput di lapangan dekat persawahan sana,” tambahnya.
Kendala, tutur Ahris, justru muncul dari anak-anak sendiri. “Biasanya kalau awal-awal mereka akan menganggap aneh permainan ini, kayak orang kurang kerjaan mukul-mukul bola kayu semacam itu,” jelasnya. Pengalamannya saat melakukan penelitian di sebuah sekolah dasar di kampung halamannya mungkin yang menjadikan tolok ukur baginya menyimpulkan demikian. “Sama halnya seperti tanggapan orang tua saya saat pertama kali saya menggeluti olahraga ini,” tambah Ahris.
Namun demikian, upayanya mengenalkan olahraga yang kali pertama masuk di Indonesia tahun 2002 ini sangat mungkin terealisasi. Caranya, terang Ahris, anak-anak harus dikenalkan dan diajak berlatih secara intensif dan berkelanjutan. “Saya yakin mereka dapat menerimanya,” paparnya.
Jika cita-citanya terwujud, ada asa yang ingin dicapainya. “Selain jadi alternatif permainan anak-anak saat mengikuti pelajaran olahraga, upaya ini sebagai langkah awal menemukan bibit-bibit pemain muda woodball Jepara,” ucapnya.
Ia berharap, pihak madrasah memberi dukungan penuh untuk mewujudkan cita-cita mulianya. “Harapannya, kepala MTs dan MA bisa welcome. Sebab tanpa izin dari beliau berdua, mustahil saya dapat memasyarakatkan woodball di madrasah ini,” pungkas Ahris. (aaf)