Troso, MAMHTROSO.com – Jumat (22/02/2013) sore, Lorenzo Cardi, relawan asal Italia yang bertugas di MA Matholi’ul Huda Troso baru saja pulang dari pertemuan antarrelawan selama 5 hari di Semarang. Namun, kepulangannya ke house project tidak sendirian. Lorenzo mengajak seorang teman senegaranya yang juga menjadi volunteer di Dejavato Foundation, Paolo Sattin (23).
Setelah menunggu cukup lama di pertigaan Walisongo Pecangaan, due Italiani (dua orang Italia) itu akhirnya dijemput MAMHTROSO.com dan rekannya dengan sepeda motor. Raut muka gembira tampak jelas menyemburat di wajah kedua bule itu. “Hei, di sini!” pekik Lorenzo dari kejauhan memanggil kami berdua. “Akhirnya saya bisa kembali ke Troso. Saya sudah rindu dengan Troso,” ucap Lorenzo. Sesaat kemudian, kami diajak menikmati teh hangat di sebuah warung makan dekat pertigaan.
Kedatangan Paolo di kampus MAMH Troso bukan tanpa tujuan. Pria lulusan fakultas Sosiologi universitas di Italia itu ingin menjajal suasana belajar di madrasah ini. “Membandingkan seperti apa rasanya mengajar di Troso sama di Borobudur,” ungkap Paolo kepada MAMHTROSO.com. Ya, status Paolo saat ini merupakan relawan yang ditempatkan di MTs Negeri Borodubur, Magelang. “Di sana saya mengajar kelas 7 dan 8. Nanti kalau di sini, ada sehari bisa saya gunakan untuk belajar bahasa Inggris dengan siswa High School,” papar Paolo dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Usai rehat sejenak, kami langsung mengantarkannya ke rumah house family yang terletak tidak jauh dari kampus madrasah.
Sudah SMA, Tapi Kok…
Sabtu (23/02/2013) pagi, Paolo mengenakan baju batik krem dipadu celana cargo warna merah bata. Untuk kali pertama, Paolo menjejakkan kakinya di kampus MAMH Troso. Tak ayal, ia langsung menjadi pusat perhatian siswa.
Didampingi ‘seniornya’, Lorenzo, Paolo berencana mengajar di sejumlah kelas. Ruangan pertama yang menjadi jujugannya adalah kelas XI IPS-1.
Seperti layaknya orang baru, ia memperkenalkan diri pada seluruh siswa. Ia tak segan menggunakan bahasa Jawa dengan maksud agar siswa dapat lebih tertarik belajar bersamanya. Selain perkenalan, ia juga menceritakan pengalamannya selama berada di Magelang.
Setelah perkenalan, ia memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya kepadanya. Namun sayangnya, tak satu pun yang berani mengajukan pertanyaan kepada bule itu. Setelah ia memberi kelonggaran siswa untuk bertanya dalam bahasa Indonesia, barulah beberapa di antara mereka berani mengajukan pertanyaan.
Seusai class session, Paolo menyempatkan curhat kepada MAMHTROSO.com. Menurutnya, dari beberapa kelas yang ia sambangi, hampir seluruhnya masih malu-malu untuk berbicara dengan bahasa Inggris. “Padahal mereka sudah SMA, tapi sepertinya mereka tidak terlalu bebas dalam berbicara,” komentar Paolo. Ia lantas membandingkan suasana belajar di house project asalnya, Magelang. “Meski di sana relatif masih kecil, kebanyakan mereka semangat untuk bertanya banyak,” ungkapnya. “Bisa jadi, kalau di Borobudur, mereka sering berjumpa dengan orang asing, jadi mereka merasa perlu belajar bahasa Inggris, siapa tahu mereka bisa menjadi seorang guide turis,” katanya menyimpulkan alasan mengapa siswa di madrasahnya lebih perhatian pada pelajaran bahasa Inggris. “Kalau di sini, mereka sebenarnya memerlukan, tapi mereka belum menyadari sepenuhnya, jadi mereka masih setengah-setengah dalam belajar (bahasa Inggris),” lanjutnya.
Seusai berbagi pengalaman selama 2 hari di kampus MAMH Troso, Paolo berencana kembali ke Magelang untuk melanjutkan tugasnya, pagi ini (24/02/2013). (aaf)